![]() |
Tari Topeng Kaliwungu |
Lumajang – Tari Topeng Kaliwungu adalah seni tari tradisional asli Kabupaten Lumajang, Tari Topeng Kaliwungu merupakan tari tunggal. Dalam tariannya, Tari Topeng dari Lumajang ini memiliki karakteristik gerak yang khas. Yaitu gerakan cakilan yang biasanya terdapat pada budaya Mataraman. Tarian ini timbul karena ada pengaruh dari kesenian-kesenian yang dibawa oleh masyarakat Madura yang bermigrasi ke Lumajang lebih dari seabad yang lalu dan kemudian setelah itu diwariskan secara turun-temurun.
Kesenian Tari Topeng Kaliwungu adalah turunan dari Kesenian Tari Topeng Getak Madura. Tari Topeng Getak Madura merupakan pertunjukan yang biasa di gelar untuk para bangsawan Kraton Sumenep. Kesenian ini dibawa ke Lumajang oleh Bapak Sunemo Bagian dari Topeng berasal dari madura yang dibuat oleh Mbah Salang Bapak Sunemo yang berpindah tempat dari Sumenep ke Desa Kaliwungu Kecamatan Tempeh. Pertunjukkan Topeng Kaliwungu kini digelar untuk masyarakat luas. Adapun makna dari tarian topeng kaliwungu adalah cerita tentang legenda rakyat bahwa ada seorang pemuda yang menangis ke ibunya karena wajahnya yang tidak tampan dan dia dihina oleh wanita pujaannya sehingga ibunya menyarankan untuk menggunakan topeng. Topeng yang digunakan berlatar warna putih, hal ini menggambarkan simbol kesucian atau kebersihan hati manusia. Mata yang menonjol merupakan simbol dari ketegasan. Ada dua jenis topeng yakni profile topeng laki-laki dan topeng perempuan.
Gerak cakilan pada tari Topeng ini terlihat sangat ekspresif dan tegas pada gerakan tangan dan kepala yang patah-patah namun tetap tegas khas Madura dan juga gerakan yang lembut khas Jawa, perpaduan budaya tersebut biasanya disebut pandhalungan, sebuah fakta alkulturasi budaya dari luar daerah dengan budaya lokal yang tumbuh dan berkembang di Lumajang.
Terdapat 14 gerakan yang biasanya dimainkan, juga ada gerakan khusus yang tidak dimiliki tarian lain. Seperti gisek panggung, gisek mundur, kencrong duwa’ (Bahasa Madura), bader mabuk dan lembengan. Tak heran manakala tarian ini menjadi ikon Lumajang yang punya ciri khas dan gaya yang spesifik. Terlebih lagi di beberapa wilayah tapal kuda sekalipun yang notabene juga kawasan pandalungan tidak ada kesenian tunggal. Kebanyakan kesenian tradisional yang ada dilakukan dengan ramai-ramai.
Seni tari ini menggunakan iringan musik dengan dua gong, dua kendang, tiga kenong atau yang lebih dikenal dengan nama kenong telok, serta terompet khas yang berbunyi sangat nyaring. Tarian lokal ini biasanya diperhelatkan pada acara-acara hajatan warga seperti karnaval, pernikahan, khitanan untuk penyambutan tamu. Umumnya disandingkan dengan kesenian Jaran Khencak, Reog dan beberapa kesenian lokal lain.
Tarian khas ini menceritakan tentang kiprah Arya Wiraraja, seorang Adipati Sumenep dari Kerajaan Majapahit, yang ditugaskan untuk membuka areal baru di selatan yaitu Lumajang. Makna filosofis dari tari ini adalah seburuk-buruknya manusia pasti memiliki kelembutan dalam hatinya.
Pada Tahun 1940 seni tari ini dalam penampilannya masih sangat sederhana, busananya hanya memakai rompi, celana pendek warna hitam, dan sampur. Sampai pada tahun 1945 busananya masih tetap dan tidak mengalami pergeseran karena ketika itu masih belum mempunyai ide untuk mengembangkan kreativitas dalam membuat busana. Tahun 1948 kostum yang digunakan sudah mengalami kemajuan dengan berubah warna lebih mencolok disesuaikan dengan karakter orang Madura. Tahun 1960 busana busana yang digunakan pada seni tari ini lebih menarik bagian atas kepala menggunakan aksesoris jamang, celana rapek hitam, gongseng, serta sapu tangan pengganti senjata Prabu Baladewa.
Tahun 2001 busana yang dikenakan mengalami perubahan lagi, karena para seniman sudah mulai memodifikasi lebih modern. Penambahan berbagai aksesoris yang digunakan sesuai dengan perkembangan zaman.
Busana yang digunakan diantaranya: bagian atas hiasan kepala menggunakan jamang, hiasan leher menggunakan kalung panjang yang terbuat dari bahan beludru, dan juga hiasan pada tangan. Dan pada tahun 2014 pergelangan tangan sudah dihiasi dekker, bagian bawah mengenakan celana bordir hitam, stagen, hiasan kaki menggunakan kaos kaki, serta sapu tangan adalah aksesoris terakhir yang digunakan sebagai pengganti senjata Prabu Baladewa.
Pada tahun 2012, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lumajang menerima undangan dari Kedutaan Besar Indonesia di Swiss. Sejumlah seniman Jawa Timur salah satunya seorang seniman tari kontemporer, Parmin Ras diminta untuk tampil dalam sebuah Festival di Swiss. Parmin Ras, seniman asal Surabaya ini kemudian mengajak seorang warga Lumajang selaku pegiat seni Tari Topeng Kaliwungu untuk ikut tampil dalam Festival tersebut. Seni tari ini menjadi salah satu kesenian yang mewakili Indonesia dalam event Asia Amazing Culture di Bern, Swiss. Salah satu ajang bergengsi itu mempersembahkan kesenian yang punya nilai sejarah yang tinggi. Kemudian kesenian ini juga seringali tampil menjadi perwakilan Lumajang di beberapa event bergensi di tingkat regional hingga nasional.
Pada tahun 1980-an adalah masa jaya dari seni tradisional Tari Topeng Kaliwungu dengan banyaknya permintaan untuk mengisi kegiatan hajatan warga. Namun, pada tahun 1990 keatas eksistensi kesenian ini mulai tergeser dengan timbulnya kesenian-kesenian modern. Atensi warga mulai menyusut terhadap kesenian lokal ini sebab lebih tertarik dengan hiburan modern semacam karaoke serta musik dangdut. Tahun 2000 keatas seni Tari Topeng Kaliwungu ini kembali mendapatkan perhatian. Hal ini tidak terlepas dari upaya para seniman, warga, dan pihak pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam mempertahankan dan melestarikannya.
Terbaru, Indonesia kembali menambah daftar warisan budaya tak benda dari kesenian daerah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam sidang penetapan warisan budaya tak benda yang dilakukan secara virtual menentapkan Tari Topeng Kaliwungu di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menjadi warisan budaya tak benda setelah beberapa tahun sebelumnya Jaran Kencak juga telah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda. (Her)