| Dok. Foto Istimewa. |
Jakarta – Suasana Istana Negara, Senin (10/11/2025), terasa lebih khidmat dari biasanya. Di balik kemegahan pilar-pilarnya, sejarah bangsa seolah ditulis ulang dalam sebuah upacara yang penuh haru dan sarat akan makna simbolik. Tepat di Hari Pahlawan, sepuluh pigura foto tersusun rapi, menanti pengakuan abadi dari negara.
Ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah momen ketika air mata para ahli waris bercampur dengan gemuruh perdebatan sejarah.
Dalam langkah yang akan dikenang, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh bangsa, sebuah daftar yang seketika menggetarkan publik. Dua Presiden dari era yang sangat berbeda, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, secara anumerta disandingkan dalam kehormatan yang sama.
Lebih dramatis lagi, di antara mereka, berdiri nama Marsinah—aktivis buruh yang menjadi simbol perlawanan dan korban tragis di era Orde Baru.
Upacara yang dimulai pukul 10.00 WIB itu berlangsung dengan ketegangan yang hening. Presiden Prabowo, didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, memasuki ruangan disambut para tamu undangan.
Lagu "Indonesia Raya" berkumandang, namun puncak keheningan terjadi saat Presiden memimpin sesi mengheningkan cipta. Di momen itu, di hadapan foto Gus Dur, Soeharto, Marsinah, dan tujuh tokoh lainnya, seluruh hadirin seolah diajak merenungkan kembali kompleksitas perjalanan bangsa.
Satu Gelar, Tiga Narasi Besar
Prosesi pembacaan Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025 menjadi inti drama hari itu. Ketika nama-nama dibacakan, fokus utama tak terhindarkan tertuju pada tiga figur sentral:
Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto: Sang 'Bapak Pembangunan' yang memimpin Indonesia selama 32 tahun. Penganugerahan ini menjadi penutup dari kontroversi panjang yang melingkupi warisannya.
Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid: Presiden ke-4 RI, 'Bapak Pluralisme' dan pejuang demokrasi, yang ironisnya juga salah satu tokoh sentral gerakan Reformasi yang mengakhiri era Soeharto.
Almarhumah Marsinah: Simbol perjuangan kaum buruh. Penganugerahannya dibaca sebagai pengakuan negara atas pengorbanan pejuang hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Menyatukan ketiganya dalam satu panggung kehormatan adalah sebuah pernyataan politik yang kuat dari pemerintahan Prabowo-Gibran—sebuah upaya rekonsiliasi nasional atas luka-luka sejarah yang pernah membelah bangsa.
Isak Tangis Ahli Waris
Di sisi pigura para pahlawan, para keluarga dan ahli waris tak kuasa menahan haru. Isak tangis pecah saat Presiden Prabowo dan Wapres Gibran menghampiri mereka satu per satu untuk memberikan ucapan selamat.
Bagi keluarga Marsinah, ini adalah puncak perjuangan mencari keadilan. Bagi keluarga Gus Dur, ini adalah penegasan atas jasa-jasanya. Dan bagi keluarga Soeharto, ini adalah restorasi kehormatan yang telah lama dinantikan.
Turut menerima gelar Pahlawan Nasional adalah tokoh-tokoh besar lainnya: pejuang pendidikan Islam Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Syaikhona Muhammad Kholil, diplomat ulung Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, tokoh militer Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, serta para pejuang dari berbagai daerah seperti Sultan Muhammad Salahuddin, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.
Upacara ditutup kembali dengan lagu "Indonesia Raya", yang kali ini terasa berbeda. Hari Pahlawan 2025 tak hanya mengenang mereka yang telah gugur di masa lalu, tapi juga memaksa bangsa untuk berdamai dengan narasi-narasi yang pernah saling bertentangan. (Din)






