Foto: Istimewa |
Pamekasan — Dunia pers di Kabupaten Pamekasan kembali diguncang oleh dinamika internal yang memunculkan pertanyaan serius tentang integritas dan independensi profesi jurnalis.
Sorotan mengarah pada seorang oknum ketua organisasi pers di Pamekasan, Madura, yang secara terbuka mengkritik karya jurnalistik rekan seprofesinya sendiri. Tulisan tersebut berjudul "Di Balik Kemeriahan Acara Sultan Madura, Ada Jeritan Pedagang"—ditulis oleh Halik, jurnalis media daring lokal—yang mengangkat suara pedagang kecil yang merasa terpinggirkan dalam hiruk-pikuk acara Sultan Madura.
Di tengah euforia pesta, Halik memilih berdiri di sisi yang sunyi: menyuarakan jeritan mereka yang tak terdengar. Namun alih-alih mendapatkan dukungan dari sesama insan pers, ia justru menerima serangan balik dari sosok yang seharusnya menjadi penjaga marwah profesi.
Ironisnya, oknum ketua organisasi ini—yang sempat "makan bangku" kuliah namun digambarkan seperti tokoh Sengkuni dalam epik Mahabharata—diduga menggadaikan independensinya demi menjaga relasi dan kepentingan tertentu.
Perbedaan sudut pandang ini memicu saling sindir antar insan pers melalui rilis resmi organisasi masing-masing, memperlihatkan betapa rapuhnya solidaritas profesi ketika idealisme mulai dikompromikan.
Namun Halik dan rekan-rekannya tetap teguh. Mereka menjadikan tulisan tersebut sebagai bentuk perlawanan sunyi yang bermartabat—sebuah sikap langka di tengah arus pragmatisme yang kian deras.
"Sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalis seharusnya menjadi penjaga nurani publik, bukan sekadar pengikut arus kekuasaan atau pelindung isi perut pribadi," tegas Ade, Ketua Umum Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT), Minggu (24/08/2025).
Ade menambahkan bahwa kebebasan pers di Pamekasan tampaknya mulai terbelenggu oleh kepentingan yang tak kasat mata, tersembunyi di balik simbol dan seremoni.
“Siapa yang paling dirugikan? Masyarakat. Bahkan Sultan pun ikut dirugikan, karena oknum di sekelilingnya yang seharusnya menjaga suasana tetap kondusif justru memperkeruh keadaan,” cetusnya.
Di era digital, satu tulisan bisa menjadi bara yang menyulut kesadaran publik. Meski Halik dan rekan-rekannya mendapat tekanan dan perundungan dari pihak-pihak yang berlindung di balik 'ketiak Sultan', mereka tetap berdiri tegak, menjaga akurasi dan keberimbangan informasi.
Menulis bukan sekadar menyusun kata, tetapi juga mengukur keberanian dan integritas. Bagi Ade, menjaga independensi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral. “Sebab ketika isi perut menjadi alasan untuk membungkam nurani, profesi jurnalis tak lagi menjadi penjaga kebenaran, melainkan sekadar pelayan kepentingan,” ujarnya.
Ade pun menegaskan kepada masyarakat luas, “Di balik profesi kami, masih ada jurnalis yang punya hati nurani—yang tetap menyuarakan kebenaran.” (Din)