| Foto: Nur Aini (42) warga Desa Kedungbako Kecamatan Rejoso. |
Pasuruan – Di sebuah rumah sederhana berdinding bolong di Desa Kedungbako, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan, tersimpan kisah pilu yang mengguncang nurani. Nur Aini (42), atau yang akrab disapa Eni, telah 15 tahun lamanya berjuang melawan penyakit filariasis—atau yang lebih dikenal dengan sebutan kaki gajah—yang perlahan merenggut harapannya.
Penyakit langka ini menyerang sistem getah bening Eni hingga membuat kaki kirinya membengkak luar biasa besar, seukuran paha orang dewasa. Kaki itu kini berat dan penuh cairan, membuatnya tak lagi mampu berjalan tanpa bantuan tongkat kayu tua yang setia menemaninya setiap langkah.
“Setiap pagi saya bangun dengan tangis, Mas. Kaki ini seperti batu besar yang menarik saya ke bawah. Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi,” tutur Eni dengan suara lirih saat ditemui di rumahnya, Jumat (24/10). Matanya berkaca-kaca, menahan perih yang bukan hanya berasal dari luka fisik, tapi juga dari putus asa yang menumpuk selama bertahun-tahun.
Dua Kali Operasi, Tapi Derita Tak Berhenti
Perjuangan Eni bukan tanpa upaya. Ia sudah dua kali menjalani operasi besar di rumah sakit untuk mengangkat jaringan yang rusak akibat infeksi kronis di kakinya.
Pada operasi pertama, tim dokter harus mengangkat sekitar 4 kilogram jaringan busuk dari kakinya. Prosedur itu membuatnya terbaring selama berminggu-minggu di rumah sakit dengan luka terbuka dan infeksi yang nyaris merenggut nyawanya.
“Saya ingat rasanya seperti terbakar dari dalam. Sakitnya tidak bisa dijelaskan,” kenangnya sambil menatap kakinya yang kini kembali membengkak.
Operasi kedua yang dijalani beberapa tahun kemudian bahkan lebih berat. Sebanyak 7 kilogram jaringan kembali diangkat, namun pembengkakan itu datang lagi—lebih parah, lebih menyakitkan. Kini, Eni dijadwalkan menjalani operasi lanjutan di RSUD Bangil pada Selasa (28/10) mendatang.
Namun di tengah penderitaan itu, dompetnya kosong.
“Kalau tidak ada biaya, saya pasrah, Mas. Mungkin mati pelan-pelan di sini,” katanya lirih.
Hidup dalam Keterbatasan
Kehidupan Eni sehari-hari serba terbatas. Ia tinggal di rumah semi-permanen yang atapnya bocor setiap kali hujan. Untuk bertahan hidup, ia bergantung pada bantuan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan paket sembako dari Dinas Sosial. Namun semua itu belum cukup untuk menutupi kebutuhan obat dan perawatan hariannya.
“Bantuan memang ada, tapi tidak bisa untuk beli obat atau perban. Saya hanya bisa tahan sakit dengan air mata,” ucapnya.
Pemdes dan Dinas Terkait Turun Tangan
Sekretaris Desa Kedungbako, Miftah Farid Ridwan, membenarkan kondisi yang dialami warganya itu.
“Bu Eni kami pantau setiap hari bersama pihak Dinas Kesehatan Pasuruan. Saat ini beliau masih dalam pengawasan bidan desa Bu Nuning dan Kepala Dusun Pak Yusuf,” ujarnya.
Sementara Mariyam, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Rejoso, menambahkan bahwa koordinasi antara Dinkes dan Dinas Sosial terus dilakukan untuk memastikan perawatan medis dan bantuan sosial tetap berjalan.
“Dinkes menangani medisnya, kami bantu kebutuhan harian seperti bahan pokok dan perlengkapan rumah tangga,” jelasnya.
Harapan yang Belum Padam
Meski tubuhnya melemah, semangat Eni untuk sembuh belum sepenuhnya padam. Setiap malam, ia berdoa agar ada tangan-tangan dermawan yang mau menolongnya. Ia masih berharap bisa kembali berjalan normal, menggendong anaknya tanpa rasa sakit, dan hidup tanpa ketakutan akan kematian yang perlahan merayap.
“Saya cuma ingin sembuh. Tidak ingin kaya, cuma ingin bisa jalan lagi,” ucapnya dengan tatapan kosong.
Kisah Nur Aini adalah potret nyata perjuangan seorang ibu melawan batas kemanusiaan—antara harapan dan keputusasaan. Ia bukan sekadar pasien filariasis, tapi simbol ketabahan dan cinta yang tak lekang meski diterpa penderitaan panjang.
Bagi Anda yang tergerak, uluran tangan sekecil apa pun dapat menjadi keajaiban bagi Eni untuk melanjutkan hidupnya. Karena tak ada yang pantas menanggung derita sendirian seperti ini. (Din)



